Skip links

Bagaimana Membentuk Anak yang Memiliki Ketangguhan Pribadi?

Pagi ini, saya mendapatkan ilmu dari sebuah pesan di sebuah grup What’s app. Sebuah tulisan sharing dari blog Adhitya Mulya, penulis novel “Sabtu Bersama Bapak” yang akhir-akhir ini memang sedang naik daun. Sebuah tulisan yang sangat menarik menurut saya  (baca selengkapnya di: http://suamigila.com/2015/10/syarat-hidup.html). Pada tulisan tersebut, Adhitya berbicara mengenai pentingnya untuk membatasi “fasilitas” yang diberikan kepada anak, agar anak tidak memiliki standar hidup yang terlalu tinggi, sehingga menjadikannya manja dan tidak tangguh di kemudian hari. Lazimnya, para orangtua yang dulunya merasakan hidup yang susah dan seadanya, tidak ingin anak-anaknya merasakan “penderitaan” yang serupa, sehingga ketika mereka sukses dan memiliki banyak harta, mereka “membanjiri” anak-anaknya dengan beragam fasilitas yang memanjakan. Memberikan gadget terbaru, makanan mewah, AC, air panas, mobil, sopir pribadi, baju-baju bermerek, hotel-hotel berbintang, dan sebagainya. Orangtua menganggap bahwa semua faasilitas dan kemawahan yang mereka berikan kepada anak-anak mereka adalah manifestasi dari perasaan cinta dan kasih sayang mereka kepada anak-anaknya. Namun pertanyaannya adalah, apakah mereka memang membutuhkan semua elemen itu untuk menjamin performa, prestasi, dan kesuksesan mereka di masa depan? Adhitya menyoroti fenomena bahwa fakta di lapangan menunjukkan kenyataan yang berkebalikan. Tinggi dan mudahnya akses fasilitas, justru membuat anak terbiasa memiliki “syarat dan standar hidup yang tinggi”, sehingga mereka merasa bahwa AC dan makan steak adalah standar hidup minimal yang harus dipenuhi. Dampak dari hal ini ternyata menjadikan anak-anak ini tidak tangguh ketika berada pada lingkungan yang standar kehidupannya lebih rendah, dan juga memiliki daya juang yang rendah, karena semua fasilitas didapatkan dengan mudah. Padahal, bukankah roda kehidupan akan selalu berputar? Dan tidak selamanya kondisi kehidupan sedemikian baik dan menyenangkan, dengan semua fasilitas yang dengan mudah didapatkan.

Jika kita merunut kisah-kisah orang paling sukses di dunia saat ini, sebut saja Steve Jobs, Anthony Robbins, JK Rowling, Oprah Winfrey, dan lain sebagainya, justru mereka terlahir dengan latar belakang kemiskinan, penderitaan, tantangan, dan perjuangan. Bukan dari keluarga kaya raya yang memberikan semua fasilitas untuk mereka dalam kedipan mata. Daya Juang, atau dalam istilah ilmiahnya disebut sebagai AQ (Agility Quotient), merupakan salah satu kunci untuk meraih kesuksesan. Kualitas-kualitas pribadi seperti pantang menyerah, bekerja keras, dan persistensi adalah kualutas pribadi yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan tertinggi. Namun sayangnya, kualitas-kualitas ini akan sangat sulit dibentuk pada lingkungan yang sangat memberikan fasilitas dan kemapanan. Karena justru, kualitas-kualitas seperti ini akan muncul dari sebuah kondisi keterbatasan dan penuh tantangan yang harus dipecahkan oleh anak tanpa bantuan.

Dalam hal ini, saya sangat salut kepada beberapa orang tua yang menurut saya memiliki pemikiran luar biasa. Yakni orangtua Muhammad Al Fatih yang merupakan seorang raja, orangtua Sri Sultan Yogyakarta, orangtua Ahok, dan orangtua dari Adam Khoo. Nama-nama yang saya sebut ini sesungguhnya memiliki harta berlimpah dan juga kekuasaan yang digdaya. Namun, mereka sadar betul bahwa fasilitas dan memberikan kemewahan kepada anak-anak mereka tidak akan memberikan mereka ketangguhan karakter yang akan sangat mereka butuhkan ketika dewasa. Orangtua Muhammad Al Fatih, mengirimkan anaknya ke seorang guru yang bisa mendidik anaknya secara tegas dan disiplin. Bahkan, ayahnya memberikan wewenang kepada gurunya untuk memberikan hukuman kepada Al Fatih jika ternyata tidak belajar dengan baik. Al Fatih juga sering diajak berjalan-jalan ke pasar-pasar tradisional, melihat dan merasakan secara langsung bagaimana kondisi rakyat, sehingga ketika dewasa, ia memiliki rasa empati yang tinggi dan menyadari bahwa hidup tidak sebatas dinding-dinding dan fasilitas istana. Sri Sultan, dikatakan dalam tulisan Adhitya Mulya memiliki kebiasaan mengirimkan anaknya di usia Balita ke desa. Tidur berlasakan tanah, makan nasi seadanya. Agar ia terbiasa, bahwa standar dan syarat kehidupan dasar, bukanlah apa yang ia dapatkan di istana. Agar ia memahami, bahwa steak yang ia makan bukanlah mekanan sehari-hari yang wajar, melainkan sebuah kemewahan yang patut disyukuri. Orangtua Ahok, menurut saya lebih ekstrim lagi. Meskipun memiliki banyak harta, orangtua Ahok memilih untuk “berpura-pura” bangkrut dan jatuh miskin. Membuat sebuah “drama” kebangkrutan hingga menyita rumah mewah yang tadinya ditinggali, lalu berpindah ke sebuah rumah kecil nan sederhana. Di sana, Ahok kecil diajari untuk bekerja keras, tangguh, dan ulet dalam menghadapi kehidupan. Hal ini karena orangtuanya tahu, bahwa kemewahan yang memanjakan justru bisa membunuh karakter seseorang secara perlahan. Begitu pun dengan orangtua dari Adam Khoo, seorang lelaki asal Singapura yang kini menjadi seorang trainer dan pengusaha papan atas di Singapura. Orangtuanya adalah pengusaha yang cukup sukses di Singapura, namun ia tidak mau memberikan anaknya fasilitas mobil pribadi, uang saku berlebih, ataupun yang lainnya. Mulanya, Adam Khoo kecil amat kesal pada ayahnya dan memandang bahwa ayahnya adalah orang yang “pelit”. Rekan-rekannya mendapatkan segudang fasilitas dengan mudah, sementara ia harus berjuang dan bersusah payah mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk memenuhi keinginannya. Namun saat ini, hal tersebut justru menjadi hal yang paling disyukurinya. Karena keterbatasan yang diberikan itulah, ia memiliki ketangguhan untuk berjuang dan bekerja keras, sehingga kini bisa mencapai kesuksesan yang jauh melebihi teman-temannya dahulu.

Fenomena-fenomena yang saya lihat dari beberapa kasus di atas sungguh menarik. Saya mempelajari bahwa memberikan keterbatasan dan tantangan justru membuat anak memiliki rasa empati yang lebih tinggi, kemampuan bersyukur yang lebih baik, dan daya juang yang lebih kuat. Saya sendiri memiliki pengalaman pribadi berada di dalam kedua kondisi. Ketika berusia 1-3 tahun dulu, saya hidup dalam gelimang fasilitas. Ketika bepergian, tidak pernah saya bersama orangtua menginap di hotel dengan kelas di bawah bintang tiga. Alhasil, ketika suatu saat setelah krisis ekonomi terpaksa menginap di hotel dengan kelas jauh di bawah itu, saya ngambek dan tidak mau masuk ke dalam kamar. Baru setelah dibujuk-bujuk dan diberi pengertian selama dua jam lebih, saya akhirnya mau masuk ke dalam kamar. Itu pun dengan muka cemberut dan penuh keengganan. Semenjak saat itu, fasilitas kehidupan saya benar-benar dibatasi. Bahkan AC dan kipas angin pun tidak diberikan, agar bisa beradaptasi di segala kondisi dan tidak rewel ketika tidak ada AC.

Dari berbagai hal tersebut saya mengambil sebuah kesimpulan bahwa, ketangguhan pribadi optimal dibentuk ketika adanya kondisi yang penuh tantangan dan keterbatasan. Maka mengurangi tantangan yang harus dihadapi anak dengan memberinya segala macam bantuan dan kemudahan fasilitas bukanlah hal bijaksana, jika kita menginginkan anak-anak kita memiliki ketangguhan pribadi di kemudian hari..

 

15 Oktober 2015

nurimannisa

http://alkindikids.com/bagaimana-membentuk-anak-yang-memiliki-ketangguhan-pribadi/

Explore
Drag